Jumat, 25 Januari 2013

Sekelumit Sejarah Sang Merah Putih

Banyak yang bertanya apa itu bendera pusaka dan apa bedanya dengan duplikat bendera pusaka, serta bagaimana kaitan sejarah antara keduanya...

Bendera pusaka adalah bendera yag dijahit tangan oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur 56, saat proklamasi kemerdekaan RI di Jakarta, oleh Latief Hendraningrat dan Suhud. Bendera pusaka berkibar siang dan malam di tengah hujan tembakan. Karena aksi teror Belanda semakin meningkat, presiden dan wakil presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta. Bendera pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam koper pribadi Soekarno, hingga ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Selanjutnya sejak tahun 1946 hingga 1949, bendera ini dikibarkan di Istana Gedung Agung Yogyakarta.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua di Yogyakarta. Pre­siden, wakil presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat-saat genting dimana Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Soe­karno sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor M. Husein Mutahar. Sang ajudan lalu ditugaskan untuk untuk menyelamatkan bendera pusaka. Penyelamatan bendera pusaka ini merupakan salah satu bagian “heroik” dari sejarah tetap berkibarnya Sang Merah putih di persada bumi Indonesia. Saat itu, Soe­karno berucap kepada Mutahar:
“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya.”
Sementara di sekeliling mereka bom berjatuhan dan tentara Belanda terus mengalir masu melalui setiap jalanan kota, Mutahar terdiam. Ia memejamkan mataya dan berdoa, Tanggungjawabnya terasa sungguh berat. Akhirnya, ia berhasil memecahkan kesulitan dengan mencabut benang jahitan yang menyatukan ke­dua bagian merah dan putih bendera itu.
Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, ke­dua carik kain merah dan putih itu berha­sil dipisahkan. Oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di dasar dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Yang ada dalam pemikiran Mutahar saat itu hanyalah satu: bagaimana agar pihak Belanda tidak mengenali bendera merah-putih itu sebagai bendera, tapi ha­nya kain biasa, sehingga tidak melaku-kan penyitaan. Di mata seluruh bangsa Indonesia, bendera itu adalah sebuah “prasasti” yang mesti diselamatkan dan tidak boleh hilang dari jejak sejarah.
Benar, tak lama kemudian Presiden Soekarno ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (kota kecil di pinggir danau Toba) sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka, sedangkan wakil presi­den Mohammad Hatta langsung dibawa Bangka. Mutahar dan beberapa staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mere­ka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Pada saat menjadi tahanan kota, Mutahar berhasil melarikan diri dengan naik kapal laut menuju Jakarta.
Di Jakarta Mutahar menginap di rumah Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang sebelumnya tidak ikut mengungsi ke Yogyakarta. Beberapa hari kemudian, ia kost di Jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah Bapak R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kepala Kepolisian RI yang pertama).
Selama di Jakarta, Mutahar selalu mencari informasi dan cara bagaimana bisa segera menyerahkan bendera pusa­ka kepada presiden Soekarno. Pada suatu pagi sekitar pertengahan bulan Juni 1948, akhirnya ia menerima pemberitahuan dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) Jakarta. Pemberitahuan itu menyebutkan bahwa ada surat dari Presiden Soekarno yang ditujukan kepadanya.
Sore harinya, surat itu diambil Mutahar dan ternyata memang benar berasal dari Soekarno pribadi. Isinya sebuah perintah agar ia segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang dibawanya dari Yogya kepada Sudjono, agar dapat diba­wa ke Bangka. Bung Karno sengaja tidak memerintahkan Mutahar sendiri datang ke Bang­ka dan menyerahkan bendera pusaka itu langsung kepadanya. Dengan cara yang taktis, ia menggunakan Soedjono sebagai perantara untuk menjaga kerahasiaan perjalanan bendera pusaka dari Jakarta ke Bangka.
Itu tak lain karena dalam pengasingan, Bung Karno hanya boleh dikunjungi olehanggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Na­tions Committee for Indonesia). Dan Su­djono adalah salah satu anggota dele­gasi itu, sedangkan Mutahar bukan.
Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, Muta­har berupaya menyatukan kembali ke­dua helai kain merah dan putih dengan meminjam mesin jahit tangan milik seo-rang istri dokter yang ia sendiri lupa namanya. Bendera pusaka yang tadinya terpisah dijahitnya persis mengikuti lubang bekas jahitan tangan Ibu Fatmawati. Tetapi sayang, meski dilakukan dengan hati-hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujungnya.

Dengan dibungkus kertas koran agar tidak mencurigakan, selanjutnya bende­ra pusaka diberikan Mutahar kepada Soedjono untuk diserahkan sendiri kepa­da Bung Karno. Hal ini sesuai dengan perjanjian Bung Karno dengan Mutahar sewaktu di Yogyakarta. Dengan diserahkannya bendera pusaka kepada orang yang diperintahkan Bung Karno maka selesailah tugas penyelamatan yang dilakukan Husein Mutahar. Sejak itu, sang ajudan tidak lagi menangani masalah pengibaran bendera pusaka.
Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekar­no dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka de­ngan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pu­saka dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.
Naskah pengakuan kedaulatan lndo­nesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu Soekamo kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, ben­dera pusaka dibawa kembali ke Jakarta.
Untuk pertama kalinya setelah Prok­lamasi bendera pusaka kembali dikibar­kan di Jakarta pada peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1950. Setelah itu bendera terus dikibarkan setiap tanggal 17 Agustus hingga berakhirnya masa pemerintahan Soekarno.

(mohon ma'af bila ada kesalahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar